Senin, 01 Maret 2010

LAMBANG KASIH YANG AGUNG

Yohanes 10:18
Banyak orang memakai tanda salib karena salib itu
melambangkan kekristenan. Tetapi tidak banyak orang yang benar-benar memahami
kedalaman kasih yang dilambangkan oleh salib itu.

Salib dipakai sebagai cara
menghukum mati yang paling menyakitkan dalam sejarah. Penyaliban biasanya
diawali dengan dua orang serdadu yang mencambuk dari depan dan belakang. Cambuk
yang dipakai itu berlilitkan tiga tali kulit, yang masing-masing ujungnya
berisi duri, yang dapat merobek-robek dan menghancurkan daging. Tak heran jika
Yesus sampai jatuh tersungkur dan tak kuat memikul salibNya setelah dicambuk
seperti itu.

Para serdadu kemudian menancapkan paku panjang di telapak
atau pergelangan tangan, yang makin menambah rasa sakit luka penyaliban itu.
Pergelangan kaki juga ditancapkan paku sampai tembus ke kayu salib. Untuk
mendirikan salib itu, para algojo akan menjatuhkan salib itu ke dalam sebuah
lubang dan "bunyi gedebuk" lagi-lagi menambah hancur tubuh yang sudah
tercabik-cabik itu. Untuk menarik napas saja, orang yang disalib itu harus
bertumpu pada pergelangan kakinya yang berdarah.

Yesus adalah Allah, tetapi
Dia juga manusia. Jadi, Dia tahu betul penderitaan fisik manusia yang mengalami
kekejaman itu. Di atas segalanya, Dia juga merasakan kepedihan emosional dan
spiritual yang dalam karena ditolak oleh bangsaNya dan disangkal oleh
murid-muridNya. Yang paling memilukan, ketika Dia menanggung dosa-dosa kita,
Bapa meninggalkanNya (Matius 27:46; 2 Korintus 5:21). Namun, Yesus tidak memandang
diriNya sebagai korban; Dia dengan rela menyerahkan nyawaNya bagi kita dan
menganggapnya sukacita (Ibrani 12:2). Tak ada kasih yang lebih agung dari itu.

Ambilah waktu untuk merenungkan segala penderitaan
Yesus di kayu salib bagi anda. Setelah anda mengerti betapa besar
pengorbananNya, bersyukurlah padaNya atas kasihNya yang tak terukur itu.

|||||| sumber: http://www.sentuhanhati.com/
||||||

Menyenangkan
Tuhan

1 Tesalonika 2:1-6
Bilangan 4-6; Markus 4:1-20

Ada cerita tentang seorang bapak dengan anak laki-laki
dan keledainya. Mereka menuntun keledainya hendak ke pasar. Sang bapak berjalan
di samping, sedang anaknya duduk di atas keledai. Beberapa orang yang melihat
berkata, "Anak itu tidak memiliki rasa hormat kepada orangtua, masak bapaknya
berjalan, dianya sendiri naik keledai?" Tidak enak mendengar kata-kata itu,
sang bapak gantian duduk di atas keledai, dan anaknya berjalan.

Orang-orang
yang melihat berkata pula, "Kok tega sekali orangtua itu, enak-enak duduk di
atas keledai sedang anaknya dibiarkan berjalan?" Mendengar itu, sang bapak
meminta anaknya duduk di atas keledai bersamanya. Namun, orang-orang yang
melihat berkata, "Kejam sekali, masak keledai tua begitu ditunggangi dua
orang?" Bapak dan anak itu pun turun dari keledai dan berjalan beriringan.
Ternyata omongan orang-orang tidak berhenti sampai di situ. Beberapa orang yang
melihat mereka berkata pula, "Dasar bodoh, punya keledai kok tidak
ditunggangi?"

Kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Apabila
kita berusaha menyenangkan semua orang, seperti bapak-anak dalam cerita di
atas, kita akan "capek" dan "bingung" sendiri. Panggilan kita hidup di dunia
ini bukanlah untuk menyenangkan hati manusia, tetapi menyenangkan hati Tuhan.
Karena itu, standar atau ukuran atas sikap dan perilaku kita adalah Tuhan
sendiri; apakah sikap dan tindakan kita menyenangkan Tuhan. Seperti kata Rasul
Paulus, "Maka kami berbicara, bukan untuk menyenangkan manusia, melainkan untuk
menyenangkan Allah yang menguji hati kita" (ayat 4).

PANGGILAN HIDUP KITA ADALAH
MENYENANGKAN TUHAN

Penulis: Ayub Yahya

|||||| sumber: http://www.renunganharian.net/ |||||

__________________________________________________
Apakah Anda Yahoo!?
Lelah menerima spam? Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam
http://id.mail.yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar